Salah satu syarat sahnya sebuah akad nikah adalah adanya mahar. Yakni pemberian suami kepada istri secara sukarela sebagai bentuk kasih sayang. Allah SWT berfirman, yang artinya “Dan berikanlah mahar (mas kawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” (QS. An-Nisaa’: 4).
Mahar tidak harus berupa uang. Di zaman Rasulullah, ada yang memberi mahar baju besi, cincin besi, sandal, bahkan juga hafalan Al Quran. Namun pada umumnya, mahar di zaman itu berwujud uang atau harta yang mudah diperjualbelikan.
Mahar Muhammad kepada Khadijah saat pernikahannya adalah 20 ekor unta. Bisa diperkirakan berapa kira-kira jika dinilai dengan uang. Muhammad, saat itu adalah seorang entrepreneur muda yang sukses. Sedangkan mahar beliau kepada Aisyah adalah uang sebesar 500 dirham. Satu dirham sama dengan 1 dirham = 2,975 gram perak. Saat ini harga perak seberat itu sekitar Rp 65.000. Jadi, kalau dikurs dengan nilai uang sekarang, mahar tersebut senilai sekitar Rp 32.500.000.
Sebenarnya, jumlah mahar tidak dibatasi. Pernah suatu ketika, Khalifah Umar hendak melakukan pembatasan mahar hingga maksimal 12 uqiyah atau setara 50 dirham. Umar berpendapat mahar yang berlaku saat itu sangat tinggi, sehingga memberatkan kaum lelaki. Namun, Umar bin Khattab diprotes oleh seorang Shahabiyah dengan alasan Nabi pun tak pernah melakukan pembatasan mahar. Umar pun membatalkan rencananya.
Di Indonesia, mahar yang paling favorit adalah seperangkat alat shalat. Entah mengapa, jarang ada pengantin puteri yang meminta mahar yang agak bernilai, misal mobil, motor atau rumah.
Aha... itu kan berat? Ya, memang sebaik-baik kaum perempuan adalah yang mempermudah dalam urusan mahar. Namun, lelaki sejati tentu tak mau dengan kemudahan-kemudahan. Dia harus mau bekerja lebih keras untuk bisa mengumpulkan mahar yang cukup, agar bisa "gagah" saat berhadapan dengan calon istri.
Ali bin Abu Thalib, berkali-kali menunda melamar Fatimah, karena dia merasa belum bisa mengumpulkan mahar dengan cukup. Tapi, saat berkali-kali dia melihat Fatimah dilamar lelaki lain, dan ditolak Rasulullah, Ali merasa takut didahului. Akhirnya, meski belum memiliki mahar yang cukup, Ali nekad melamar Fatimah dengan mahar baju besi yang dibeli Usman bin Affan senilai 400 dirham. Semangat dan kesungguhan Ali perlu ditiru oleh sekalian pemuda. Minimal, ada usaha maksimal, soal hasil, itu urusan belakangan.
Separuh bercanda, dalam sebuah kajian, Ustadz Hatta Syamsuddin, Lc., M.Ag, pernah mengatakan, bahwa angka perceraian di Indonesia sangat tinggi dan sebagian besar berasal dari gugat cerai perempuan (khulu). "Mungkin, ini karena dahulu maharnya murah, jadi enak saja kaum perempuan mengembalikan mahar saat gugat cerai."
Khulu secara bahasa artinya “melepaskan”, yakni gugat cerai dari pihak perempuan dengan cara memberikan tebusan (misal berupa uang) agar suami mau melepaskannya. Misalnya, “Aku menceraikan kamu dengan uang seratus juta.” Jika tidak disebutkan jumlah tebusannya oleh istri, maka tebusannya adalah senilai mahar yang diberikan oleh suami. Jadi, jika maharnya “hanya” seperangkat alat shalat, tentu akan sangat mudah suami di-khulu istrinya.
Meski hanya separuh bercanda, hal tersebut layak direnungkan. Jadi, ayo lelaki... muliakan calon istrimu dengan sebaik-baik mahar.
Dan perempuan, muliakan dirimu dengan semudah-mudah mahar.
Please, jangan dibalik ya...
Ilustrasi: Kawan Imut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.